Rabu, 02 Maret 2016

Nyanyi Pertiwi

Nyanyi Pertiwi
Tak terbatas kata berkejaran berhamburan riang bercumbu membagi canda
: melukis Indonesia
Merah putih dalam tubuh, tulang dan darah
dalam degup jantung perjuangan nyala semangat berkobar tegar
Berkibarlah!
Hijau, nila, jingga saga yang kilau
   Dalam fajar dan senja yang merekah di balik pancang bumi
   Melalui ujung daun-daun berembun menerobos kabut
   Ditingkahi suara alam
   Membawa decak dan desah
   Kagum tak sudah-sudah
   Indah
Biru, ungu, merah jambu pasir dan bebatuan
Bersembunyi malu di kedalaman pertiwi
Berserak haru diantara kaki pelangi
Terkurung sepi menanti sembari mempercantik diri
Menunggu petikan tangan yang sabar
Bersinar
Ribuan nada berdenting naik turun melengking mendayu
Menggunting segala ironi manusia hancurkan bumi
Mendesing, lontarkan api
Pertiwi menangis: ironis
Ribuan nada berdenting naik turun melengking mendayu berdecak rancak
Nyalakan asa yang tersisa pada dada para pemuda
Berderet membentuk irama nyanyian cinta : Indonesia Raya
Jutaan harap tetap membumbung tinggi di langit dini
Berselubung pekat memerihkan pandang
Negeri ini adalah negeri para pecinta, walau
Satu, dua, sejuta topeng menyeringai santun menaiki panggung
Berebut rahasia tahta para raja nusantara
Tak ada artinya
Seribu sejuta kata takkan pernah menjangkau makna kuasa dan kaya raya
: siapa yang kan menjaga?
Kini aku di sini mengajakmu menyesap madu penuh rayu
Negeri kita penuh harta tak terhingga kau tahu?
Tanah, lumpur, batu, kayu, lantunkan dendang padamu tentang kekayaan abadi negeri ini
Tataplah mereka, yang tak terlihat sekemilau harta
Pemilik mata-mata mungil
Yang bercahaya mengarahkan pandang ke langit
Menghitung bintang, mengukur jarak dengan impian
Lisan kecil yang mengeja A ba ta
Bernyayi riang merah kuning hijau
Lagukan terbata rima sajak bijak: a b a b
Dekap mesra dan bisikkan sejarah jati diri
Panjalu, mataram,majapahit, samudra pasai
Diponegoro, Cut Nyak Dien, Cokroaminoto
Hembuskan napas merah putih agar menggelora lembut dalam jiwa
Titipkan kisah yang tertulis dalam lontar dan dluwang
Ksatria yang telah menjaga nusantara, manusia santun yang tahu nilai diri
Kepada mereka
Pewaris sejati negeri sepenggal surgawi ini

*10 Karya Terpilih ITS Expo 2015 kategori sastradrama

Pulang ke diri


Diantara kisah mengagumkan tentang putri,
Mungkin kau telah melewatkan namaku;
Terselip diantara gemerlap dongeng cantik Cinderela
Terlelap kepayang dalam romantisme Putri Salju
Atau melayang mengharum mengembara dalam dekap rayu Aladin

Ijinkan aku mengunjungimu dalam maya mimpi
Dalam bisikan kuno yang tertulis dalam babad yang mungkin terlewati
Saat nenekmu merayumu ke peraduan dengan kisah masalalu di negeri asalmu
Tapi masihkah terpahat dalam memorimu saat dia berujar tegar mengantarmu menyongsong asa,

“Jika telah jenuh mengembara,
merangkai mimpi yang perlahan kau wujudkan nyata
Maka tempat mana yang paling nyaman
Yang paling kau rindukan bagai kau rindukan bunda yang mendekapmu dalam hangat peraduan. Pulanglah..
Pada Diri, yang akan selalu memaklumkanmu tentang riwayatmu,
Tanah yang menyari dalam detak jantungmu
Bening air yang akan menetes memanggil saat rasa yang bernama rindu membawamu menari bersama kenangan masa kecilmu;
Gurih manisnya jenang sumsum menjelang berangkat sekolahmu
Saat tangan mungilmu berebutan menjangkau nampan berisi tahu goreng
Manis legitnya getuk gedhang saat baru diangkat dari lumpang
Atau jerit sakitmu saat terkilir jatuh dari pohon pelem podhang
Walau jarak yang mungkin tak terjangkau dalam pandanganmu Nduk
Dalam bahasa yang mungkin jauh berbeda, maka jagalah dia
Piwulang yang aku tembangkan
Agar kau selalu eling
Sangkan paraning dumadi
Dalam kinanthi yang aku senandungkan mengantar istirahatmu”

Kau telah mengingatku dalam serakan kisah itu Kirana?
Bahkan dalam namamu tersemat asalmu: Galuh Candra Kirana
Masih kata nenekmu Kirana,
“Pengajaran hidup dan jejaknya masih bisa kau tapaki disini Nduk,
Tentang aroma cinta, balas budi, sikap ksatria, keserakahan dan kesederhanaan
Tapaki kisah ini kembali suatu saat.
Bukan hanya lewat kata,
Namun hirup udara dan rasai jejaknya;
Kilisuci
Klothok—kolo thok
Wilis
Totok Kerot
Mas Kumambang
Selomangleng,…”

Bukankah telah kau resapi semua kisahnya Kirana?
Nah, sebutlah namaku ‘Sekar’
Maka kau akan temukan wajahku terhampar dalam tanah lahirmu
Jika namaku dan penggalan kisah itu masih terkubur dalam diktat asingmu, baik
Akan aku tuturkan secarik kisah
Kau mengenal Robin Hood, bahwa dia nyata dengan kisah dan nama berbeda
Ki Boncolono, yang jejaknya masih dirindui dengan senthir menemani
Kau mengenal Putri Tidur sebagai dongeng indah penuh romantika,
Tahukah kau ketika kau pulang kau akan temui jalan hidupnya sebagai aku disana
Apakah kini kau masih terpesona pada buaian cerita Shakespeare
Atau kisah haru Antoinette
Atau kau masih terlena dalam buaian seribu satu malam?
Pulanglah

Jika kini air mata rindumu telah menetes
Dan denyar hangat nadimu mengalirkan kenangan yang akan membawamu pulang
Jika saat senja kau telah sampai di kota Dhaha
 maka buang pandangmu ke semburat saga matahari senja. Kau akan menemuiku sebagai siluet manusia tenang yang menatap langit terang. Dalam raga Klothok jiwaku mengembara menjadi ruh dalam kehidupan Kediri.
Dan akhirnya, sebut namaku ‘Sekartaji’
Karena setiap jiwa sejatinya akan pulang
Kembali
Kediri

*nominasi 40 besar Tulis Nusantara 2013 kategori puisi

Mencari Diri Menuju Persinggahan Sejati




Judul buku: Memoirs of Stientje

Pengarang: Md. Aminudin

Penerbit: MyBooks, Yogyakarta

Tahun terbit: 2011

Tebal Halaman: 618 halaman

Panjang Buku: 14x 20,5 cm

Ilustrasi Buku: Sampul buku didominasi warna jingga. Berlatar suasana peperangan di Jawa yang terlihat pada latar sampul belakang yang menampilkan bangunan khas Belanda tempo dulu, andong dan para lelaki yang memakai pakaian khas jawa. Dua tokoh utama ditampilkan pada sampul depan yaitu perempuan belanda tua mengenakan kerudung dan seorang lelaki Tionghoa yang masih muda dengan posisi saling membelakangi dipisahkan oleh asap tebal sisa ledakan.Di sini, selalu saja saya temui hal yang sama; jejak-jejak penindasan yang mulai mengering namun tak jua hilang...,Sebuah kalimat yang mengawali keseluruhan isi buku ini. Sebuah kalimat bernada kegelisahan akan keadaan di sebuah negeri Indah bernama Indonesia. Di sini, di Indonesia, hingga detik ini tergambar dengan jelas segala bentuk penindasan. Kasus-kasus korupsi tingkat tinggi dengan nominal yang fantastis hingga ‘seremeh’ sandal jepit membetot perhatian hingga gelengan kepala miris. Ya, miris. Bahkan pada usia kemerdekaannya yang menjelang 67 tahun Indonesia masih merangkak mencari model keadilan. Kerusuhan dan makar juga terjadi di negeri ini, secara kasat mata- terang benderang atau yang sembunyi-sembunyi menggerogoti harga diri negeri. Di hadapan kita masih terpampang jelas perang fisik terjadi; bentrok warga dengan jamaah Ahmadiyah, saling bunuh karena cinta dan harta, antar pendukung tokoh atau partai tertentu, hingga aparat dengan warga. Di satu waktu kita disuguhi kemewahan yang tiada terkira; mewahnya gedung-gedung penguasa dan segala ‘penyelenggara negara’, kemewahan apartemen dan rumah tinggal yang bagai di surga, hingga kemewahan yang menempel di ujung jari. Tapi di waktu yang sama kita dijejali keprihatinan yang terus berteriak meminta simpati; gedung sekolah roboh, rumah sakit pailit, nasi basi yang dikonsumsi, hingga saling membunuh demi sesuap nasi. Di negeri yang ketika tongkat kayu dilemparkan begitu saja di tanah akan menjelma menjadi sumber kehidupan.Keresahan akan keadaan yang menggelitik nurani ini juga terwakili oleh seorang perempuan belanda totok bernama Stientje. Dia, dengan pertanyaan kritisnya tentang hidup dan kehidupan membawanya pada persinggahan akhir hidup yang diimpikannya. Stientje, putri tunggal dari seorang pejabat Belanda yang lahir di negeri khatulistiwa ini selalu merindukan tempatnya dilahirkan. Di negeri koloni bernama Hindia Belanda. Di negeri jajahan bangsanya ini dia merasa menemukan keluhuran budi pekerti dan ketingian nurani. Hal inilah yang membuatnya kembali ke Hindia Belanda mewujudkan cita-citanya untuk mengajar rakyat pribumi. Bersama sepupunya, Roos, Stientje melayari lautan menuju negeri yang dirinduinya. Di perjalanan, Stienje bertemu dengan pribumi yang menawan hatinya, Wardoyo. Lelaki Jawa yang begitu bangga dengan kebelandaannya. Hingga dari Roos dan Wardoyolah, Stientje bergabung dalam perkumpulan Mason. Stientje dengan sifatnya yang penyayang, selalu peduli dengan penderitaan rakyat pribumi terpikat dengan agenda Mason untuk memberikan pelayanan kesejahteraan. Di sini juga dia bertemu dengan Habib Husein, saudagar keturunan Arab yang karena dianggap sebagai pengikut Ahmadiyah mendapat undangan untuk menghadiri pertemuan para petinggi Mason. Inilah langkah-langkah permulaan Stientje menemukan jati dirinya sebagai manusia. Mengenal gerombolan pejuang yang seringkali disebut sebagai pengacau, dekat dengan kaum pergerakan Islam yang memperjuangkan harga diri negeri. Menemukan seorang lelaki yang dengannya kesetiaannya teruji hingga menemukan dirinya yang baru yang membuatnya kuat dan perkasa menapaki segala kepedihan yang terus menjadi kerikil hidupnya. Di sini, di negeri permai ini Stientje memutuskan pulang di kesunyian rimba Indonesia.Cinta, kasih sayang, dan airmata memenuhi hidupnya. Bagaimana pedihnya saat dengan mata kepala sendiri Stientje melihat penghianatan sepupunya dengan lelaki yang dicintainya. Penghianatan yang tidak hanya cinta anak muda yang dipertaruhkan, tapi juga dengan nyawa. Menjalani kehidupan sunyi di hutan liar, menjadi istri pejuang yang selalu diburu, merawat rakyat pribumi walau acapkali menerima pandangan ganjil, menjumpai ayah yang dicintainya kehilangan pikiran sehat, hingga menjadi tahanan politik bangsanya sendiri. Siapa sangka bahwa keprihatinan hidupnya tak lepas dari campur tangan sepupunya sendiri, Roos sang antek Yahudi. Yang bahkan ketika menjelang eksekusinya Roos masih membebani pikirannya;“Tak ada kekacauan di dunia ini tanpa campur tangan orang-orang Yahudi, asli maupun antek-anteknya. Kami ibarat kuman yang menjangkiti semua golongan. Tak peduli apakah itu komunis, liberal, gereja-gereja, dan umat yang lemah imannya, yang memandang keyakinan hanya identitas belaka. Kami sasar pimpinan-pimpinan mereka karena itulah cara kerja paling ringkas dan mengena. Dengan begitu maka gampanglah kami menguasai umat mereka. Kami bekerja lewat seni, tradisi, industri, politik, dan pengajaran. Pendek kata semua lapangan kehidupan rakyat tiada satupun yang luput dari perhatian kami.”Namun dengan keprihatinan hidupnya, Stienje lebih tajam menelisik nuraninya. Hingga petunjuk terang benderang menyinari hatinya. Jalan pikiran dan perasaan Stienje dalam novel ini mengajak kita satu demi satu menjawab pertanyaan yang semestinya ada pada kedalaman hati. Agaknya penulis, yang juga seorang aktifis PII ini ingin mengajak pembaca mengurai dengan jernih permasalahan yang terpampang jelas di hadapan negeri besar ini. Menjelajah waktu, mempelajari sejarah bangsa sendiri. Betapa permasalahan bangsa ini berawal dari tertutupnya nurani terdalam manusia dalam hiruk pikuk kehidupan sehingga pertanyaan nurani yang selalu mengusik kesadaran menjadi kabur. Empat zaman sejarah bangsa ini terangkum secara singkat dari perjalanan hidup Stienje, mungkin kita akan terhenyak tersadar bahwa masalah yang kita hadapi ini adalah warisan sejarah yang belum terselesaikan. Fenomena Ahmadiyah yang masih menuai kontroversi, korupsi, para penjilat kekuasaan, hukum, kesejahteraan, jati diri bangsa, hingga gaya hidup. Adakah ini ulah konspirasi yang dirancang perkumpulan Mason lewat gurita pengaruhnya?Disertai data dan fakta sejarah, novel ini seakan nyata. Tempat, tradisi, peristiwa yang terjadi dalam empat jaman terkait erat dalam kehidupan tokoh. Berbalik dari hal yang dianggap lumrah, penulis menyajikan para pejuang kemerdekaan berdarah Tionghoa, Arab, dan Belanda sendiri. Perjuangan yang tak lepas dari ideologi yang tergenggam karena laku mengabdi pada kebenaran hakiki. Bahwa kemerdekaan adalah milik semua pribadi dan kehambaan adalah kepada Allah SWT saja. Hingga kita menjadi maklum bahwa bangsa yang majemuk ini mempunyai pahlawan yang belum tersebutkan apakah itu dari pribumi sendiri atau bangsa lain yang terlanjur mencintai bumi pertiwi. Pun dengan para penjajah pertiwi yang bisa jadi pribumi sendirilah yang menjual dan menggadaikan negeri ini. Ataukah segala permasalahan yang dihadapi negeri ini memang dimunculkan untuk tidak pernah terselesaikan.Masih berkaitan dengan Tembang Ilalang yang telah terbit sebelumnya Md. Aminudun menghidangkan Memoirs of Stientje dengan nilai perjuangan dari sudut pandang kehalusan seorang perempuan. Romantisme yang menjadi penyegar dalam pemikiran-pemikiran yang mendalam. Dan keterkaitan perjuangan antara dua novel ini. Tak jarang dahi kita berkerut menemui ‘kenyataan’ bahwa beberapa tokoh nasional kita jumpai dengan paparan kebobrokan hidupnya. Bahwa sebelumnya kita jumpai seorang tokoh revolusioner yang dipuja-puja dengan berbagai atribut kebesarannya ternyata harus luluh lantak di sebuah halaman novel. Kritikan tajam, pemikiran kritis atas peristiwa negeri akan terekam kuat di kepala pembaca. Bahkan perjalanan paling dasar manusia menemukan tuhannya terangkai apik dalam proses berpikir yang dihadapkan dengan peristiwa nyata. Dari sini, agaknya kita harus (dipaksa) mengaca, membaca kembali sejarah, tentang bangsa ini, tentang kehidupan, tentang budi pekerti dan harga diri yang agaknya semakin terkikis habis oleh hiruk pikuk dunia yang semakin ramai. Ya. Sebelum sejarah tertimbun dalam ketidak sadaran nurani.



Kamis, 25 Februari 2016

Memori Fitri 1436

Idul Fitri telah berlalu. Tapi sensasi bahagia dan capeknya masih terasa. Bagaimana 2tidak, Idul fitri tahun ini adalah yang pertama kalinya malam takbiran dan sholat Id di perantauan bersama suami dan anak-anak saja. Terasa jauh berbeda dengan tahun-tahun lalu yang telah menjadi tradisi sejak kecil, bahwa malam takbiran adalah begadang di dapur bersama ibu. Menyiapkan berbagai hidangan tradisional untuk menjamu tamu keesokan harinya, memasak madumongso dengan kayu bakar semalam suntuk, mengolah berbagai hidangan; rendang, rawon, iga pedas, jangan lombok, opor ayam dan urap-urap. Berbagai pilihan hidangan untuk menyambut berbagai macam selera tamu, begitulah kata ibu.
Dulu belum saya pahami makna kata dan laku ibu setiap malam takbiran itu, saya pikir sekedar memasak untuk hari besar, hari bahagia. Hingga tahun ini, saat saya jauh dari beliau dan mendapat 'tugas besar' dari suami. Menjamu tamu-tamu suami tepat saat Idul Fitri di rumah mungil kami. Sebagai pengurus masjid setempat, suami mendapat semacam kehormatan untuk menjamu imam dan khatib sholat idul fitri dan pengurus masjid. Wah, saat mendengar hal ini saya langsung merasa tertantang. Orang yang saya cintai seolah ingin menguji seberapa terampil istrinya di dapur dan menunjukkanya pada orang banyak. Hmm... baiklah, saya akan membuatnya bangga.
Mulailah saya mengatur strategi, menyusun menu, menyiapkan perangkat saji (dan menyadari bahwa, piring, gelas, mangkuk sayur yang kami miliki minimalis dalam jumlah dan bentuk 😊), menghitung budget dan.... menelepon ibu. Seperti biasa, respon ibu datar saja, diam sejenak untuk berpikir kemudian bertanya,"Bisa?"
Tanpa pikir lagi saya jawab,"Bisa." Dan resep lezatnya kemudian meluncur dari seberang kota.
Dan akhirnya, inilah menu yang terpilih:
- ketupat sayur
- rendang
- nasi pecel
- es buah
dan aneka kue dan kerupuk
Tentang ketupat ini, ibu menyarankan agar diganti lontong saja. alasan beliau sih untuk menghemat waktu dan lebih tidak ribet. tentu dengan berat hati saya menolaknya, ketupat kan ikon idul fitri. Lagipula saya memutuskan untuk memesan ketupat yang sudah matang. Namun apa daya, ibu pembuat ketupat menolak untuk memasakkan ketupat pada malam takbiran. Alasan beliau sih karena melawan kebiasaan. Cring... saya jadi tahu bahwa di beberapa wilayah jawa, khususnya pesisir ada anggapan bahwa 'gak ilok', tidak tepat menyajikan ketupat tepat hari pertama idul fitri.
Dengan dibantu seorang tetangga yang masih remaja, malam takbiran harus saya habiskan di dapur. Menggoreng, menumis, merebus, meracik bumbu yang saya kira mudah ternyata cukup berat juga. menjelang tengah malam saya masih dibantu dan ditemani hingga tetangga saya pamit. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, matahari segera terbit, namun pekerjaan saya belum tuntas. ditambah dua jagoan yang butuh perhatian. Terbayangkan kacaunya pagi itu. Apa boleh buat, saya harus rela melepas suami dan anak-anak sholat Id dengan formasi tidak lengkap. (lagi-lagi saya harus bersyukur: betapa pengertiannya lelaki indah itu)
Bergegas saya segera menyiapkan hidangan, perlengkapan saji, memotong buah dengan pontang panting. Tepat beberapa detik terakhir pekerjaan usai datanglah rombongan tamu yang ditunggu, diawali suara tapak kaki dan celotehan jamaah cilik yang super heboh yang manjur mengilangkan kegugupan yang sempat mampir.
Dengan dibantu ibu-ibu jamaah yang turut berkunjung, tersajilah deretan hidangan lebaran yang sangat luar biasa menurut saya. Ah, riuh percakapan para jamaah di ruang tamu membuat kebahagiaan yang seakan tersumbat di dada meluap... Hidangan pun tandas. Alhamdulillah....

banyak hal yang baru saya sadari, bahwa ada kebajikan luar biasa yang tersirat dari indah dan lezatnya sajian di meja makan. rasa cinta, perjuangan dan filosofi luhur yang dapat kita pelajari dari sejarah tiap masakan, sebagai pesan moral yang diturunkan bersama ukuran bahan dan tradisi. seberapa besar rasa cinta yang kita sertakan saat memasak, sebesar itulah kelezatan yang akan dirasakan penikmat masakan kita.

Rabu, 24 Maret 2010

Saatnya pergi,saatnya datang.. Ada yg ingin menemui, ada yang 'ingin' menghilang. Ada sapa,pun salam.. Salam jumpa,salam perpisahan,salam senyum tak terjawab dan salam 'kepatutan'. Ada yg tetap memutar rekaman masa lalu,ada yg mencoba menghapus dan buatnya kabur.. Ada senyum sejati dan senyum bertanya hati. Mengapa? Andai hanya ada 'jumpa' walau tanpa raga,mungkin warna lebih kaya..


*masih adakah 'sisa' keindahan kata 'ukhuwah'? rinduku pada 'jiwa-jiwa' itu,smoga tetap terjaga hingga tak pernah hadirkan prasangka..

Senin, 30 November 2009

Ternyata hadir rasa ini di hatiku. Hingga aku terpana tak mampu rangkai kata. Kembali merangkak mengeja makna.. Puisiku masih terbungkam dipenuhi tanya dan heran. Mungkinkah jiwaku tertawan oleh bahagia yang hanya sanggup dipahami rasa
Inikah keajaiban..,


'karna dia begitu indah..

Kamis, 01 Oktober 2009

aku bertanya padamu...

seseorang mengatakan padaku,"Kamu begitu romantis. apakah kau melahap gulagula dan puisi sekaligus menjelang tidur?"
aku hanya memandangnya heran.
seseorang bertanya padaku,"Apakah segala marahmu telah kau jual tuntas? hingga tak kau sisakan segurat pun di garis wajahmu?"
ingin kutatap matanya. kurasakan wajahku memanas
"Apakah kau terbuat dari segala wajah bunga, hingga tak tersisa keindahan yang bisa tergambar disekelilingku?"
"Apakah kau reguk semua madu hingga kata-kata manis saja yang keluar dari bibirmu?"
"Apakah cahaya temaram matahari pada rembulan terperangkap di matamu hingga tiap waktu bisa kurasakan hangatnya?"
"Apakah seluruh kelembutan bulu kupukupu telah menyatu pada sentuhanmu hingga kurasakan kenyamanan yang luar biasa?"
"apakah seluruh nyanyi angin dan kicau burung terserap pada pita suaramu, hingga lagu merdu selalu kudengar ingatkan salahku?"

dan dia terus bertanya... terus berkata, merayuku, membuatku semakin bahagia.
"Jawablah pertanyaanku, Ibu..." Lanjutnya. jemarinya yang mungil menyentuh pipiku dengan lembut.